Meneliti Bukan Sekadar Menulis, Tapi Mencipta Gagasan Bermakna

Share on facebook
Facebook
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram

Penelitian merupakan bagian integral dari dunia akademik. Ia bukan hanya kegiatan pelengkap dalam proses pembelajaran, melainkan fondasi utama dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan pemecahan masalah nyata di masyarakat. Di berbagai jenjang pendidikan tinggi, baik pada program sarjana, magister, maupun doktoral, mahasiswa dituntut untuk mampu menyusun karya ilmiah dalam bentuk skripsi, tesis, atau disertasi. Namun sering kali, kegiatan penelitian hanya dipahami sebatas memenuhi kewajiban administratif semata. Pandangan sempit seperti inilah yang perlu kita ubah secara mendasar.

Tantangan terbesar dalam menyusun penelitian tidak terletak pada teknis penulisan atau kemampuan statistik semata, tetapi pada cara berpikir dan memaknai proses penelitian itu sendiri. Banyak mahasiswa yang mengalami kebingungan di tahap awal karena belum memiliki landasan berpikir yang kuat—baik dalam menggali ide, merumuskan masalah, maupun memahami relevansi topik yang diangkat.

Meneliti: Antara Tanggung Jawab Akademik dan Tuntutan Intelektual

Penelitian sejatinya merupakan sarana untuk membangun kontribusi ilmiah yang nyata. Dalam konteks ini, seorang mahasiswa tidak cukup hanya meniru atau mengulang penelitian sebelumnya, melainkan dituntut untuk menciptakan kebaruan, sekecil apa pun itu. Kebaruan tersebut dapat berupa pendekatan berbeda, konteks lokal yang spesifik, variabel baru, atau model integratif yang lebih sesuai dengan kebutuhan zaman.

Sayangnya, banyak mahasiswa yang memulai proses penelitian dengan “mencari judul”, bukan “memahami fenomena”. Akibatnya, penelitian menjadi kegiatan tempelan, kehilangan arah, dan akhirnya sulit menyusun kerangka berpikir yang solid. Di sinilah pentingnya memahami bahwa penelitian bukan hanya soal metode, tetapi juga tentang kemampuan membaca realitas dan menginterpretasikannya secara ilmiah.

Pentingnya Fondasi yang Kuat Sejak Awal

Sebelum sampai pada tahapan teknis seperti menyusun instrumen penelitian, menyebarkan kuesioner, atau melakukan analisis statistik, seorang peneliti harus membekali dirinya dengan pemahaman konseptual dan kontekstual atas masalah yang akan diteliti. Hal ini dimulai dari kemampuan menggali ide, mengidentifikasi fenomena, hingga merumuskan masalah yang benar-benar layak untuk diteliti.

Pada titik ini, banyak mahasiswa terjebak dalam asumsi bahwa rumusan masalah harus berbentuk pertanyaan. Padahal dalam banyak tradisi ilmiah, terutama dalam disertasi dan artikel jurnal internasional, masalah penelitian disajikan dalam bentuk pernyataan deskriptif yang kuat (problem statement), bukan sekadar pertanyaan eksploratif. Pendekatan ini mencerminkan bahwa peneliti telah memiliki penguasaan atas isu yang diteliti, bukan lagi sekadar mencari tahu tanpa arah.

Sebagai contoh, alih-alih menulis:

“Bagaimana pengaruh literasi keuangan terhadap kinerja UMKM?”

Akan jauh lebih kuat jika ditulis:

“Rendahnya tingkat literasi keuangan di kalangan pelaku UMKM menjadi salah satu tantangan utama dalam penguatan daya saing dan keberlanjutan usaha mereka.”

Contoh lainnya tentang digitalisasi dalam Pendidikan

Bentuk Pertanyaan:
“Bagaimana efektivitas penggunaan e-learning terhadap motivasi belajar mahasiswa?”

Bentuk Pernyataan (Problem Statement):
“Pemanfaatan platform e-learning yang belum optimal di sejumlah perguruan tinggi swasta menjadi faktor yang memengaruhi rendahnya motivasi belajar mahasiswa selama pembelajaran daring.”

Contoh berikutnya tentang Pengaruh Kepemimpinan terhadap Kinerja Karyawan

Bentuk Pertanyaan:
“Apakah gaya kepemimpinan transformasional berpengaruh terhadap kinerja karyawan?”

Bentuk Pernyataan (Problem Statement):
“Kurangnya penerapan gaya kepemimpinan transformasional di lingkungan kerja perusahaan X berdampak pada rendahnya motivasi dan produktivitas karyawan secara keseluruhan.”

Pernyataan seperti ini memberi kesan bahwa peneliti memahami konteks, memiliki landasan teoritik, dan siap membangun solusi ilmiah.

Membentuk Pola Pikir Peneliti Sejak Dini

Artikel ini disusun sebagai panduan reflektif dan aplikatif untuk mahasiswa dan peneliti pemula agar tidak terjebak pada pendekatan prosedural semata, tetapi mampu melihat bahwa setiap tahapan dalam penyusunan penelitian memiliki makna strategis. Kita akan membahas proses menyusun penelitian mulai dari menggali ide yang relevan, menyusun latar belakang yang logis, menyatakan masalah secara kritis (dalam bentuk kalimat berita, bukan pertanyaan), hingga menyusun kesimpulan yang bukan sekadar ringkasan, tapi juga arahan untuk masa depan.

Sebagai penutup bagian ini, izinkan saya menyampaikan sebuah prinsip sederhana: penelitian yang baik tidak hanya menjawab pertanyaan, tetapi juga mengajukan solusi, membuka perspektif baru, dan memperluas cakrawala berpikir. Oleh karena itu, marilah kita menyusun penelitian bukan sekadar untuk lulus, tapi untuk memberi makna.

Daftar Referensi:

  • Booth, W. C., Colomb, G. G., & Williams, J. M. (2016). The Craft of Research (4th ed.). University of Chicago Press.

  • Creswell, J. W., & Creswell, J. D. (2018). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches (5th ed.). SAGE Publications.

  • Sekaran, U., & Bougie, R. (2016). Research Methods for Business: A Skill Building Approach (7th ed.). Wiley.

  • Maxwell, J. A. (2013). Qualitative Research Design: An Interactive Approach (3rd ed.). SAGE Publications.

Hak Cipta 2023 - LPPM UMUS - Pemutakhiran Mei 2023